"Assalamu'alaikum, Mama Ririn..."
"Assalamu'alaikum..."
Saya yang sedang berzikir di atas sajadah segera beranjak ke arah pintu samping rumah, oh Mama Shafa, tetangga kami.
Wa'alaikumsalam... ada apa ya, Mama Shafa? Sambut saya sambil membukakan pintu. "Yuk, masuk dulu", ajak saya.
"Gak apa-apa di sini aja, saya cuma mau nawarin ini... kira-kira Mama Ririn mau beli gak ya?"
Ia menunjukkan tabung gas melonnya, menawarkan ke saya mana tahu mau membelinya. Sambil menggendong putra bungsunya yang berusia 3 tahun.
Kami sendiri sudah memiliki 3 buah tabung gas. 2 buah tabung gas melon 3 kg, satu lagi tabung pink bright gas yang 6,5 kg.
"Gini, Mama Ririn... mau buat nambahin bayar spp-nya anak sulung kami, sudah 3 bulan nunggak di sekolahnya."
"Mmm, kalau tabung gas saya gak beli lagi, Mama Shafa. Kalau semisal bantu Mama Shafa seikhlasnya insyaallah saya bisa."
"Gak donk, Mama Ririn... saya kan niatnya mau jual-beli bukan mau minta sama Mama Ririn, maaf jangan salah paham ya, Bu."
"Oh gitu ya, Mama Shafa. Maaf ya..." jawab saya.
"Saya permisi ya, Mama Ririn... maaf sudah mengganggu waktunya." katanya sembari pamit dari rumah saya.
Saya terpaku, masih mencerna apa yang barusan berlalu dari hadapan saya tadi.
***
Jadi Malu Jika Tidak Bersyukur
Saya tak bisa berkata apapun, kerongkongan saya tercekat. Di kompleks rumah kami yang rata-rata dihuni kaum menengah ternyata ada tetangga yang kekurangan. Di kondisi perekonomian seperti sekarang ini apa yang tidak mungkin ya?
Memang Mama Shafa biasanya berjualan bakso dan sosis bakar di teras rumahnya untuk mengisi waktu sebagai ibu rumah tangga. Namun sejak maraknya program MBG (Makan Bergizi Gratis) di sekolah-sekolah, siswa-siswi sekolah yang biasanya jajan di warungnya sepi.
Sampai akhirnya dia tak berdagang lagi. Mestinya tabung gas melonnya tidak usah dijual tetapi mungkin sudah melalui pertimbangan tertentu sehingga mereka merelakan salah satu modal kerja terpaksa beralihtangan.
Dari peristiwa ini terus terang saya jadi malu jika tidak bersyukur. Saya dan suami sama-sama PNS. Tidak kaya sih tetapi juga tidak bisa dikatakan miskin. Bergaji kecil namun stabil.
Alhamdulilah meski kami berusaha hidup sederhana, sampai detik tulisan ini saya ketik, kami tidak pernah merasa kekurangan. Rezeki rasanya tak putus-putusnya menghampiri keluarga kami.
Namun memang saat memandang ke atas, ke keluarga teman yang sepertinya lebih sukses, rasa syukur itu menjadi setipis kulit ari buah salak.
Tipis dan mudah ditembus. Padahal harusnya setebal baja, agar hidup ini terasa manis dan indah.
Melihat rekan sejawat yang semudah itu diizinkan suaminya untuk DL (Dinas Luar) ke luar negeri. Saya tergugu, ingin juga seperti mereka.
Baru saja pulang dari Malaysia sudah pergi lagi ke Thailand. Lalu mengikuti
konferensi internasional di Jepang, ikut menghadiri penandatanganan perjanjian kerjasama ke Australia, dan masih banyak lagi.
Akan halnya saya, suami belum mau memberikan izin, alasannya agar saya tak semudah itu meninggalkan keluarga ke mana-mana.
Selagi masih bisa didelegasikan ke orang lain, mengapa harus saya yang berangkat. Demikian juga untuk menghadiri konferensi, jika dilaksanakan secara hybrid, maka bisa memilih hadir secara daring, kan.
Saya mengaitkan keluhan saya yang jarang pergi ke mana-mana ini ke suami. Suami mengingatkan komitmen kami pada awal berumahtangga dulu.
Bahwa ke manapun kami pergi bersama-sama sekeluarga. Sekilas seperti khayalan semata karena tentu saja itu memakan biaya yang sangat banyak karena jumlah kami sekeluarga enam orang.
Tetapi selama ini kami sudah merealisasikannya, ke mana-mana sejauh apapun, naik-turun pesawat bersama-sama.
Kesannya memang seperti suami saya tidak memahami profesi istrinya, namun saya menyadari
putra bungsu kami sangat membutuhkan perhatian. Dia agak lambat dalam memahami pelajarannya di kelas 3 SD.
Cara Membiasakan Diri Bersyukur Setiap Hari
Baru saja saya ingin mengeluhkan persoalan ini, datanglah tetangga saya sebagaimana cerita di atas. Saya laksana diingatkan Allah SWT.
Ternyata saya kurang fokus terhadap segala yang telah dimiliki saat ini. Alih-alih bersyukur saya malah fokus pada sesuatu yang belum didapatkan yaitu kebebasan pergi keluar negeri seumpama rekan-rekan sejawat lainnya.
Dari tetangga saya, dapat pelajaran bahwa masih banyak orang yang berkutat di dalam masalah keuangan yang rasanya tak kunjung usai.
Sampai benda penting dalam rumahnya seperti tabung gas saja bisa ingin dijual demi menutupi kebutuhan tunggakan uang sekolah anak.
 |
| Ilustrasi syukur membawa kebahagiaan, bunga lambang kebahagiaan / dokpri |
Saya pun merenung dan memperoleh beberapa cara membiasakan diri bersyukur setiap harinya.
Berikut di antaranya:
- Fokus pada hal yang sudah dimiliki, ketimbang memikirkan apa yang tidak dimiliki, fokuslah pada apa yang sudah dimiliki dan hargai hal-hal sederhana seperti bernapas atau memiliki keluarga.
- Sadar dan merenung, luangkan waktu setiap hari untuk merenung dan memikirkan hal-hal baik yang terjadi dalam hidup ini.
- Hindari membandingkan diri, jangan bandingkan hidup sendiri dengan orang lain, karena ini sering kali menimbulkan rasa kurang bersyukur.
- Berlatih melakukan hal baik, berbagi dengan orang lain adalah salah satu cara untuk merasakan syukur yang lebih mendalam. Mengucapkan terima kasih kepada orang lain juga merupakan bentuk syukur.
- Terima tantangan dengan positif, lihatlah tantangan dan kesulitan sebagai pelajaran berharga yang bisa membuatmu lebih kuat.
- Praktikkan mindfulness, latih diri untuk hidup di saat ini agar lebih menyadari momen-momen berharga.
- Lakukan ibadah, berdoa adalah cara efektif untuk menumbuhkan rasa syukur. Dalam Islam, bersyukur juga dilakukan dengan mengucapkan "Alhamdulillah" berzikir sebanyak-banyaknya.
- Menulis jurnal syukur, setiap hari, tuliskan setidaknya tiga hal yang disyukuri untuk membantu diri menyadari banyak nikmat yang telah diterima.
Salam dan syukur
 |
| Al-Qur'an Surah Ibrahim Ayat 7 |
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak, karena komentar Anda menjadi jejak digital di dunia maya